Jakarta - Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menyoroti masalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa saat ini. "Meskipun jumlah masalah kesehatan mental tidak terdata secara akurat, namun masalah kecemasan, depresi dan bunuh diri di kalangan remaja di era digital menjadi kekhawatiran yang cukup umum," kata Ketua Umum APTIK Prof B.S. Kusubiantoro di Jakarta, Sabtu. Asosiasi yang membawahi 22 yayasan ini merasa perlu untuk bekerja sama untuk memastikan bahwa para siswa tidak merasa terisolasi dan bahwa lembaga-lembaga konseling dapat dengan tepat mengenali dan mengatasi gejala-gejala yang ada.

"Fenomena kerentanan mental ini perlu dijaga bersama," tambahnya. Kongres ke-41, yang diadakan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta pada tanggal 21-23 Maret 2024, berfokus pada topik khusus, yaitu konsep lama VUCA (Volatilitas, Ketidakpastian, Complexity, Ambiguity) bergeser, munculnya paradigma baru yang disebut BANI (Brittle, Anxiety, Non-Linear, Illusion of Predictability) juga dibahas.

Paradigma VUCA mendominasi pemikiran global pada awal tahun 90-an, tetapi karena efek globalisasi menciptakan kompleksitas dan ketidakpastian yang meluas di dunia, kita sekarang bergeser ke paradigma BANI, yang muncul setelah tahun 2020. lahir dari BANI, Rapuh Konsep rapuh memunculkan ilusi kekuatan, bahwa institusi yang kita anggap kuat sebenarnya rapuh.



Ketidakamanan menciptakan ilusi kendali, namun apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan yang kita hadapi.

Konsep non-linear, di sisi lain, menciptakan ilusi prediktabilitas, seperti munculnya pandemi COVID-19, chatting GPT, dan gangguan teknologi lainnya; konsep ilusi prediktabilitas dari paradigma BANI menciptakan ilusi pengetahuan, seperti melimpahnya data dan informasi, tetapi pada kenyataannya hoaks berkontribusi pada kelimpahan yang luar biasa.

"APTIK merasa perlu melakukan pencegahan melalui segala bentuk adaptasi yang diperlukan untuk mencegah kerentanan mental yang kini semakin merebak di kampus-kampus dalam dan luar negeri. Hal ini merupakan bagian dari ilusi kontrol yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan bunuh diri." Selain membahas adaptasi kurikulum dengan paradigma disrupsi terkini, kolaborasi dan pengembangan kepedulian sebagai identitas Katolik yang dapat menjawab permasalahan masyarakat, Linus M. Setiadi, Presiden Yayasan Atma Jaya, yang menyelenggarakan konferensi ini, Beliau menyatakan sebagai berikut. Linus juga menekankan bahwa kongres ini merupakan upaya reflektif bagi APTIK sendiri untuk terus maju dan bersinergi dalam memberikan karya terbaik bagi bangsa dan negara. profesional dan peduli harus terus didorong. Profesor Judah Turana, Rektor Universitas Katolik Indonesia, Atma Jaya, juga menyatakan dukungannya terhadap kerja sama dan sinergi yang dilakukan oleh APTIK. "Untuk menghadapi berbagai tantangan ke depan dan meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang berbakat dan berdaya saing, maka perlu adanya keterkaitan berbagai keunggulan keilmuan antar perguruan tinggi dan menciptakan sinergi," ujar Prof Judah Turana.